Menuntut ilmu adalah hal yang wajib dilakukan setiap Muslim. Selain menjadikan dirinya mulia, Allah pun akan mengangkat derajatnya.
Ilmu dan pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam, bahkan lebih dibutuhkan daripada makan dan minum. “Tanpa makan dan minum, seseorang tidak  akan kehilangan kehormatannya. Namun, tanpa ilmu, seseorang akan kehilangan kehormatannya, derajatnya lebih rendah daripada binatang,” papar ustadz Ahmad Bisyri Syakur, Lc, MA, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Namun pendidikan dalam pandangan Islam bukan sekadar membekali anak dengan ilmu-ilmu semacam Matematika, Fisika, Biologi, dan sebagainya. Hal yang utama justru penanaman akidah dan akhlak dalam diri anak, sehingga terbentuklah pribadi yang tunduk dan dekat pada Rabb yang menciptakannya. Itulah tujuan pendidikan dalam ajaran Islam; menjadi hamba Allah SWT, yang terlepas dari penghambaan kepada apapun selain dari-Nya, dan yang akan membawa pribadi dan lingkungannya pada kemuliaan hidup yang hakiki. Bukan yang bersifat sesaat dan pragmatis, seperti sekadar diterima di sebuah instansi atau membuatnya mampu mencari nafkah. Lalu sejak kapan anak mulai memperoleh pendidikan? Sesungguhnya, Islam telah memliki konsep pendidikan usia dini, jauh sebelum istilah tersebut populer belakangan ini. Dimulai sejak dalam kandungan, yaitu melalui tilawah Al-Qur’an yang dibacakan sang ibu dan doa-doa yang dipanjatkan. Kemudian, ketika bayi itu lahir, Nabi SAW memerintahkan kita memperdengarkan lafaz azan dan iqamah di telinga kanan dan kiri bayi yang baru lahir. Perintah Rasulullah ini hendaknya ditindaklanjuti oleh para orang tua, pendidik utama anak-anaknya. Bukan hanya oleh ibu yang mendapat predikat “ummu madrasatun”, tapi ayah juga berperan dalam menanamkan nilai-nilai agama dan ilmu bagi putra-putrinya dengan cara-cara yang baik dan menyenangkan. 
 
Pendidikan Anak di Masa Nabi
Anak-anak muda di zaman Rasulullah SAW tak sedikit yang bersinar karena kecerdasannya. Akhlak mereka terjaga, mereka sukses hafal Qur’an, mandiri, berani berperang dan bahkan menjadi panglima perang di usia belia. Kita pun bertanya-tanya, pendidikan seperti apa yang mereka terima sehingga tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan tangguh? Menurut Ustadz Bisyri, ada beberapa faktor yang mendukung. Antara lain, pendidikan nabawi diawali dengan keimanan yang mendalam, materi pembelajarannya adalah wahyu langsung dari Allah SWT (Al-Qur’an) juga As-Sunnah. Pengajarnya adalah Rasulullah SAW, guru yang memberi ilmu sekaligus keteladanan. Lingkungan saat itu juga kondusif, sebab anak-anak juga bisa mencontoh para sahabat Rasulullah SAW yang kualitasnya tidak diragukan. “Anak zaman sekarang menghadapi tantangan besar. Lingkungan mereka tidak memberi keteladanan, bahkan mengajarkan hal yang bertentangan dengan yang mereka pelajari di sekolah,” ujar penulis buku-buku fiqih kontemporer ini. 
 
Dalam sejarah Islam, pengajaran-pengajaran untuk anak usia dini telah ada sejak zaman Rasulullah. Bentuknya ada yang berupa halaqah atau “kuttab”, yang mengajarkan mengenal huruf, membaca, menulis, berhitung, menggambar, dan menghafal Al-Qur’an, selain tentunya juga sirah nabawiyah sebagai sebuah motivasi hidup. “Kuttab” sama halnya dengan majelis atau “halaqah”. Hanya saja, “kuttab” mengkhususkan diri untuk anak-anak kecil yang belum baligh (“shibyaan”). “Kuttab” menjadi solusi bagi para orang tua yang tidak mampu mendidik anaknya tapi tetap ingin anaknya berilmu. “itu bukanlah sebuah aib bagi orang tua. Urusan pendidikan dan pengajaran adalah urusan orang-orang yang berpengetahuan dan berilmu. Jika orang tua tidak mampu mendidik anak, namun tidak menyerahkannya kepada pihak lain yang mampu, maka orang tua tersebut justru tidak bertanggung jawab,” tegasnya. 
 
Kapan Anak Mulai Ditekankan Sekolah?
Bagaimana jika di rumah sudah memiliki cukup teman belajar, misalnya dari orang tua, nenek, tante, yang bisa memenuhi sejumlah aspek kecerdasannya? “Jika semua bisa terpenuhi di rumah, ya tidak harus sekolah. Dengan syarat, ada orang-orang di rumah yang bisa menstimulasi kemampuan motorik, berpikir, dan bahasa anak dengan baik. Namun, ketika anak berusia 4 tahun, ada kebutuhan mempersiapkan dirinya sebelum masuk SD. Kebutuhan anak untuk berteman dan meregulasi diri di lingkungan sosialnya pun semakin besar, sehingga perlu lebih dimotivasi untuk mulai sekolah.
Usia 4 tahun ke atas, sebaiknya anak mulai diikutkan dalam kegiatan reguler di TK, PAUD, “playgroup” atau semacamnya yang bisa dijangkau dari lingkungan rumah. Tentunya tidak harus “full day”, cukup 3 kali sepekan atau 3 jam sehari sehingga tidak membebani anak, sifatnya pun hanya stimulasi dan pembelajaran sosialisasi.  Anak di atas 4 tahun disarankan untuk mulai dimasukkan TK atau pendidikan sejenis. Hal ini penting karena anak yang tidak punya pengalaman emosional yang kaya, dia bisa menjadi tertutup, mudah tersinggung, pendiam, ketika masuk SD. Anak-anak yang sekolah TK biasanya lebih siap memasuki SD. Mereka lebih kaya pengalaman sosial dan emosionalnya, lebih bisa konsentrasi, punya regulasi diri dan kemandirian, disamping kemampuan akademisnya. 
 
Rambu-Rambu bagi Orang Tua
1. Orang tua adalah pendidik utama, sehingga tidak boleh menyerahkan pendidikan sepenuhnya ke sekolah;
2. Terlibat dalam menjaga konsistensi pembelajaran. Apa yang diajarkan di sekolah, diterapkan pula di rumah, seperti makan sendiri, shalat tepat waktu, bersikap lemah lembut, dsb;
3. Tak perlu stress ketika mendapati anak belum bisa mengikuti arahan atau pelajaran. Anak balita tak perlu ditargetkan banyak hal, karena akan membuat ia tertekan;
4. Jangan ambisius dengan menyertakan anak ke berbagai les yang bersifat akademis;
5. Fokus pada kompetensi sesuai usia anak, sesuai arahan Kemendiknas melalui SK Mendiknas No. 58/ 2009 tentang apa saja yang seharusnya sudah bisa dilakukan balita pada setiap fasenya. 
Dikutip dari: 
- Rizal, Rahmi. Mei 2015. “Islam & Pendidikan Balita”. Ummi, hlm. 20, 21
- Geumala, Meutia. Mei 2015. “Kapan Anak Tepat Disekolahkan?”. Ummi, hal. 22, 23

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active